#48 With You

image

Daun maple yang berjatuhan memenuhi jalanan yang sedang aku lalui, aku berkali-kali menggosokkan kedua tanganku berharap bisa merasakan kehangatan,
cuaca menjadi begitu dingin saat akhir musim gugur seperti ini, mungkin karena sebentar lagi musim salju akan segera tiba.

Aku mempercepat langkah agar bisa cepat sampai ke dalam apartemenku. Saat aku akan membuka pintu apartemen, sebuah pintu lain yang berada di sebelah pintuku terbuka, seorang laki-laki keluar dari sana sambil tidak lupa memberikan senyum termanisnya.

“Selamat malam Joana,”

Sapanya ramah, membuatku berdecis, kenapa dia bertingkah sok manis seperti ini?

“Kau kenapa?”

Tanyaku heran, dia biasanya akan bersikap seperti kalau hanya ada perlu saja.
William kembali tersenyum menunjukkan deretan giginya yang rapi, dia adalah teman sekelasku di kuliah sekaligus tetanggaku di apartemen yang berada di pinggiran kota New York ini.
Aku sudah berteman dengannya sejak SMA, karena aku dan dia pindah ke apartemen ini di hari yang sama. Apartemen yang kami tempati bukanlah apartemen mewah, tapi tempatnya nyaman dan hangat.

“Kau punya kopi? Aku kedinginan tapi kopiku habis,”

Jawabnya, membuatku mendengus. Aku mengisyaratkan padanya untuk masuk ke dalam apartemenku. Sebenarnya William adalah anak laki-laki yang baik, tapi tetap saja ada kalanya dia bisa bersikap begitu menyebalkan.
Sedangkan aku? Mungkin hanya William yang tau berapa sering aku merajuk kepadanya karena hal-hal kecil. Aku menyalakan penghangat ruangan, sedangkan William langsung menuju dapur. Dia sudah sangat hafal di mana letak benda-benda yang ada di rumahku.

“Kau mau pakai susu?”

Tawar William, aku mengangguk sambil melepas topi. William sangat pintar meracik minuman dan memasak, dengan wajahnya yang tampan. Aku yakin banyak sekali wanita yang menyukainya.

“Kau tadi darimana? Aku menunggumu berjam-jam.”

Gerutu William sambil meletakkan dua mug berwarna hijau yang sudah terisi kopi diatas meja. Aku segera mengambil mug milikku dan langsung menyeruput kopi yang dibuat olehnya.
Enak sekali, rasa kopi yang tidak terlalu kuat dan campuran susu yang pas.

“Aku baru selesai menemani Alex ke toko musik. Kau tau? Dia baru membeli gitar akustik yang bagus. Bahkan tadi dia bertanya padaku dia harus memilih yang mana, aku bilang itu terserah padanya, tapi Alex tetap menyuruhku memilih. Katanya apapun pilihanku dia akan menyukainya. Willy, apakah menurutmu dia juga menyukaiku?”

Balasku antusias sambil meletakkan mug ke atas meja, William meminum kopinya dengan perlahan, benar-benar menikmati kopi buatannya sendiri. Kemudian dia meletakkan mugnya kembali.

“Memangnya menurutmu kalau seperti itu dia menyukaimu? Aku pernah mengajak beberapa teman wanitaku berbelanja seperti itu, tapi aku tidak menyimpan perasaan apa-apa pada mereka, berhentilah terus menerus mengejar Alex. Jo, ini sudah tahun ke tiga. Kau bahkan tidak pernah mengatakan padanya kalau kau menyukainya.”

William kembali menggerutu, aku selalu bercerita padanya tentang Alex, tentang seorang laki-laki yang selalu aku sukai, matanya yang tajam, alisnya yang tebal dan kadang terlihat bertaut seperti orang yang sedang marah, sudut bibirnya yang terangkat seolah memperlihatkan kalau dia selalu tersenyum, dia seperti seorang pangeran berkuda putih untukku.

“Berhentilah berkhayal! Daripada terus mengejarnya secara diam-diam. Lebih baik kau berpacaran denganku saja,”

Sambung William lagi, membuatku kembali mendengus sebal. Ini bukan kali pertama William mengatakan hal seperti itu, tapi setiap kali mendengarnya aku menjadi kesal, bagaimana bisa mengajak seseorang untuk berpacaran sebagai lelucon? Dasar William, setelah bertahun-tahun dia bahkan tidak berubah.

“Kau selalu saja membuatku kesal, leluconmu sudah tidak lucu lagi,”

Balasku ketus, membuatnya mengerucutkan bibir, William sudah sangat mengerti dengan sifatku yang seperti ini, dia selalu mengatakan itu setiap kali aku menceritakan laki-laki yang aku sukai.

“Willy, besok kau punya acara? Ayolah temani aku membeli hadiah untuk Alex, lusa nanti dia akan berulang tahun.”

Rengekku padanya, William menatapku datar. Tanpa mendengar jawaban darinya aku sepertinya sudah tahu.

“Tidak mau! Kau fikir aku tidak punya urusan?”

Teriaknya sebal, membuatku membatin kesal. Memangnya kenapa? Aku kan hanya minta dia menemaniku.
“Ayolah, kumohon. Aku berjanji tidak akan lama. Setelah itu bantu aku membuat kue ulang tahunnya.”

Lanjutku lagi, William semakin menekuk wajahnya, aku menghela nafas sebal lalu melemparkan boneka beruangku yang berada diatas sofa ke arahnya.

***

“Kenapa kau sampai repot membelikannya baju segala? Bahkan belum jadi pacarnya pun kau sudah banyak menghabiskan uang untuknya.”

William mengikutiku dari belakang, sedari tadi yang kulakukan hanyalah memilih-milih baju yang menurutku pas untuk Alex, tapi tidak ada satupun yang membuatku tertarik.

“Kalau kau berpacaran denganku, aku tidak akan membiarkanmu membelikanku baju. Aku yang akan membelikanmu—“

“Iya, iya. Aku tahu. nanti aku fikirkan. Sekarang menurut sudut pandangmu. Bagus yang warna hitam atau warna navy blue ini?”

Aku memotong perkataannya sambil menunjukkan dua baju yang bermotif sama tapi berbeda warna. William diam sejenak kemudian menunjuk yang warna navy blue. Aku meletakkan yang warna hitam kembali pada tempat dan membeli yang satunya.

Setelah membeli baju, aku berbelanja bahan-bahan untuk memasak kue. Alex pasti akan senang saat dia tahu aku memberinya kejutan ini, aku akan gunakan kesempatan ini untuk menyatakan perasaanku padanya.

William masih memilih-milih tepung yang bagus, sedangkan aku nyaris tidak mengerti apa saja yang harus aku beli kalau William tidak bersamaku sekarang.

“Untung saja ada kau, aku pasti akan kebingungan kalau kau tidak disini Willy,”

Pujiku, aku tulus mengucapkannya. Tapi William malah menjulurkan lidahnya kepadaku sambil mengembangkan hidungnya. Menyebalkan.

“Jo, menurutku. Kau tidak harus melakukan ini. kalau dia juga menyukaimu, dia pasti akan menerima apa adanya dirimu”

Ucap William, dia memasukkan dua kotak coklat batangan dan sekotak keju. Aku tidak menanggapi perkataannya, bukannya tidak mau, tapi aku tidak tahu harus menjawab bagaimana.
Bertahun-tahun aku menyukai Alex, baru kali ini aku menyiapkan kejutan untuknya, itu karena tahun-tahun sebelumnya Alex belum mengenalku, jadi yang aku lakukan hanyalah meletakkan hadiah di lokernya tanpa ada seorang pun yang tau kecuali William.

Kami sudah sampai di apartemenku, William membuka bungkus tepung terigu dan menimbangnya, sedangkan aku mengikuti arahannya yang menyuruhku untuk memecahkan telur.

Aku memperhatikan cara William membuat kue, dia begitu … apa ya? Seperti semua sudah diluar kepala, William selalu berhasil membuatku terpesona setiap kali dia sudah berdiri didapur.

“Baiklah, kuenya sudah jadi. Terima kasih Willy, kau memang yang terbaik.”

Aku memeluknya erat. Aku sudah tidak sabar untuk memberikannya kepada Alex besok. William membuka pintu apartemenku, dia sepertinya ingin pergi.

“Kau mau kemana? Tidak mau makan dulu?”

Tawarku padanya, tapi katanya dia sudah kenyang dan ingin duduk di taman kecil yang berada di samping apartemen kami.

Setelah William keluar, aku memasukkan kue itu ke dalam kotak yang pas, hadiah yang aku belikan tadi juga sudah kubungkus menggunakan kertas kado berpola garis hitam putih. Aku juga sudah menyiapkan baju yang akan aku pakai untuk menemuinya besok.

***

Salju turun perlahan pagi tadi, tapi menjelang siang sepertinya salju yang turun semakin deras, aku memakai sarung tangan agar tanganku tidak membeku.

William mengantarku sampai di depan rumah Alex, kemudian William menunggu tidak jauh dari sana, dia bahkan sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk.

“Dengar Jo, kalau dia menolakmu. Langsung lemparkan kue itu ke wajahnya,”

Tukas William begitu bersemangat, membuatku berdecis. Lagipula ini kan kue buatannya.

Kakiku gemetar, dinginnya salju ditambah perasaan yang bercampur aduk. Aku kesulitan menekan bell karena kue yang ku pegang, untung saja tanganku masih bisa menjangkaunya.

Senyumku tidak bisa tertahan lagi ketika kudengar suara Alex menyahut dari dalam, jantungku berdebar kencang saat pintu sudah mulai terbuka dan … Apa ini?

Alex tidak memakai baju dan dia hanya mengenakan celana pendek selutut.
Baiklah, kabar baik karena aku menghadiahkannya baju.

“Oh, Hai Joana,”

Sapanya sambil tersenyum, aku berusaha untuk tidak menghilangkan senyum di wajahku.

“Hai, Alex. Aku membawakan in—“

“Honey, siapa yang datang?”

Suara seorang wanita memotong perkataanku, tanpa menunggu lama wanita itu sudah berdiri dan langsung melingkarkan tangannya mesra di pinggang Alex, aku tidak mengenalnya tapi sepertinya aku pernah melihat wanita ini di kampusku. Dia hanya mengenakan tanktop tipis dan celana pendek. Aku tidak mengerti, kenapa mereka berpakaian seperti ini di musim dingin?
Senyumku meluntur, tubuhku terasa begitu dingin.
Tidak, ini tidak mungkin.

“Oh, dear. Sepertinya kau datang disaat yang salah,”

Ucap wanita itu seolah mengejekku, aku masih terdiam dihadapan mereka. Alex tidak mengatakan apa-apa dan hanya menatapku aneh. Tanpa sadar air mataku menetes, aku sudah menyukai orang yang salah. Kue dan hadiah yang sedari tadi ku pegang erat merosot ke bawah, terlepas begitu saja.
Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.

Jahat, jahat sekali.

Aku berlari sekuat tenaga meninggalkan mereka berdua. Aku merasa malu karena menemuinya seperti ini, dia bahkan bersikap biasa saja.
Aku menghapus air mataku dan langsung masuk kedalam mobil, William pasti sudah melihatnya dari kejauhan, dia langsung menyalakan mesin mobil dan melesat pergi tanpa bertanya tentang apapun.

Kami sampai di apartemen, aku baru saja akan masuk kedalam sebelum William memegang tanganku.

“Jo, are you okay?”

Tanya William begitu hati-hati, aku melepaskan pegangannya dengan pelan kemudian tersenyum tipis.

I’m fine,

jawabku singkat, kemudian masuk kedalam.
Meninggalkannya sendirian yang masih berdiri di depan pintu. Aku mengurung diri di kamarku, saat ini aku sedang ingin sendiri. Aku ingin menangis tanpa seorang pun yang akan tahu.

Hari ini, hari ini saja aku ingin menangis sepuas yang aku mau. Orang yang aku sukai selama bertahun-tahun ternyata menganggapku tidak lebih sebagai seorang wanita aneh. Aku terus menangis sampai aku tertidur.

Aku terbangun dengan menyadari bahwa lampu kamarku masih menyala, aku menoleh ke dinding, ini pukul 4 pagi. Kakiku berjalan pelan keluar dari apartemen.

Aku duduk di taman yang biasa didatangi William, mataku terasa berat tapi bukan karena aku mengantuk, ini karena mataku begitu sembab.
Aku masih termangu disana, duduk di atas kursi kayu berwarna coklat tua yang lembab karena terkena salju, aku seolah mati rasa, aku bahkan tidak bisa merasakan dinginnya salju yang masih turun perlahan.

“Kenapa kau duduk disini pada jam 4 pagi? Aku mencarimu kemana-mana, aku fikir kau pingsan dikamarmu.”

Suara William terdengar begitu cemas, dia segera memasangkan mantel tebal yang dibawanya untukku, aku bahkan lupa bahwa aku belum berganti baju.

William duduk disebelahku, tidak ada jarak diantara kami.

“Jo, bukankah sudah sering aku katakan, Berpacaran saja denganku. Kau tidak pantas menangisi laki-laki seperti itu.”

William kembali melanjutkan perkataannya, aku terdiam sejenak berusaha menarik nafas dari sisa tangisku. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.

“Kau benar Willy, sebaiknya aku berpacaran denganmu saja.”

2 thoughts on “#48 With You

Leave a comment